Kamis, 06 Maret 2014

HADHANAH (Hak Asuh Anak)


BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang
Pernikahan dan perwujudannya merupakan hasrat alami manusia yang terbaik dengan naluri. Hal ini merupakan salah satu berkah terbesar dari Allah, keinginan untuk membangun keluarga inilah yang menghindarkan kaum muda dari fantasi terhadap mimpi-mimpi yag tak masuk akal dan segala kecemasan bathin. Pernikahan dapat membuat mereka menemukan pasangan yang baik dan serta yang mau berbagi rasa dalam masa-masa susah dan bahagia.
Bila pasangan-pasangan itu sadar akan hak dan kewajiban serta tugas masing-masing dan mengerjakannya sesuai dengan kemampuannya, maka rumah tangga akan menjadi tempat menjalin persahabatan, tetapi jika ada konflik dalam keluarga, rumah tangga akan berubah menjadi penjara, itu semua akibat akan lalainya hak dan kewajiban mereka antara suami dan isteri dan juga sebagai faktor utamanya adalah ketidakpedulian suami dan isteri atas tugas masing-masing dan ketidaksiapan mereka memasuki jenjang kehidupan dalam pernikahan biasanya untuk melaksanakan suatu tugas, keahlian dan kesiapan melaksanakannya merupakan suatu syarat, jika seseorang kurang berpengalaman dan kurang siap maka tidak akan dapat mencapai tujuan yang dicita-citakan.
Apabila dalam pelaksanaan hak dan kewajiban masing-masing terlaksana secara terarah dan baik maka dapat dihindari permasalahan rumah tangga, namun jika hak dan kewajiban tidak dapat terpenuhi secara baik maka dapat terjadi keretakan dalam rumah tangga yaitu seperti halnya perceraian yang mana dapat melantarkan status anak yang menjadi kewajiban suami atau istri.
Untuk itu kami mengangkat tema dengan bahasan “Hadhanah akibat perceraian”,yang mana seorang isteri maupun suami masih mempunyai kewajiban untuk mengasuh anak dari buah pernikahan mereka sehingga anak hasil perkawinan mereka terpelihara dengan baik.



BAB II
PEMBAHASAN


A.     Pengertian Hadhanah
Hadhanah berasal dari kata “Hidhan” yang berarti lambang. Seperti kata Hadhanah atl-thaairu baidhahu ‘burung itu mengapit telur di bawah sayapnya’. Begitu pula seorang perempuan (ibu) yang mengapit anaknya.
Dalam bukunya Abd. Rahman Ghazaly. M.A. Hadhanah menurut bahasa berarti “meletakkan sesuatu dekat tulang rusuk atau di pangkuan”, karena ibu waktu menyusukan anaknya meletakkan anak itu di pangkuannya, seakan-akan ibu di saat itu melindungi dan memelihara anaknya, sehingga “Hadhanah” dijadikan istilah yang maksudnya: “pendidikan dan pemeliharaan anak sejak dari lahir sampai sanggup berdiri sendiri mengurus dirinya yang dilakukan oleh kerabat anak itu”.
Para ulama’ fiqih mendefinisikan hadhanah, yaitu melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, baik laki-laki ataupun perempuan, atau yang sudah besar tetapi belum mumayyiz, menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani, dan akalnya agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawabnya.
Dengan demikian, mengasuh artinya memelihara dan mendidik. Maksudnya adalah mendidik dan mengasuh anak-anak yang belum mumayyiz atau belum dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk, belum pandai menggunakan pakaian dan bersuci dan sebagainya.


B.     Hukum Dan Dasar Hadhanah Akibat Perceraian
Para ulama menetapkan bahwa pemeliharaan anak itu hukumnya wajib, sebagaimana wajib memeliharanya selama berada dalam ikatan perkawinan. Adapun dasar hukumnya mengikuti umum perintah Allah untuk membiayai anak dan istri dalam firman Allah pada surat Al-Baqarah (2) ayat 233:
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi makan dan Pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan Karena anaknya dan seorang ayah Karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan Ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan”.


Begitu juga dalam Al-Qur’an yang lain yaitu: Surat At-Tahrim ayat 06:
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”

Kewajiban membiayai anak yang masih kecil bukan hanya berlaku selama ayah dan ibu masih terkait dalam tali perkawinan saja, akan tetapi juga berlanjut setelah terjadinya perceraian dalam perkawinan. Nabi Muhammad bersabda:  “Barang siapa memisahkan antara seorang ibu dengan anaknya, maka Allah akan memisahkan antara dia dan keaksih-kekasihnya pada hari kiamat.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Pemeliharaan atau pengasuhan anak itu berlaku antara dua unsur yang menjadi rukun dalam hukumnya, yaitu orang tua yang mengasuh yang disebut hadhin dan anak yang diasuh disebut mahdhun. Keduanya harus memenuhi syarat yang ditentukan untuk wajib dan sahnya tugas mengasuh itu. Dalam masa ikatan perkawinan ibu dan ayah secara bersama berkewajban untuk memelihara anak hasil dari perkawinan itu. Setelah terjadinya perceraian dan keduanya harus berpisah, maka ibu atau ayah berkewajiban memelihara anaknya secara sendiri-sendiiri.
Ayah dan ibu yang akan bertindak sebagai pengasuh disyaratkan hal-hal sebagai berikut:
  1. Sudah dewasa. Orang yang belum dewasa tidak akan mampu melakukan tugas yang berat itu, oleh karenanya belum diketahui kewajiban dan tindakan yang dilakukannya itu belum dinyatakan memenuhi persyaratan.
  2. Berpikir sehat. Orang yang kurang akalnya seperti idiot tidak mampu berbuat untuk dirinya sendiri dan dengan keadaanya itu tentu tidak akan mampu berbuat untuk orang lain.
  3. Beragama islam. Ini adalah pendapat yang dianut oleh jumhur ulama, karena tugas pengasuhan itu termasuk tugas pendidikan yang akan mengarahkan agama anak yang diasuh. Kalau diasuh oleh orang yang bukan islam dikhawatirkan anak yang diasuh akan jauh dari agamanya.
  4. Adil dalam arti menjalankan secara baik, dengan meninggalkan dosa besar dan menjahui dosa kecil. Kebalikan dari adil dalam hal ini disebut fasiq yaitu tidak konsisten dalam beragama. Orang yang komitmen agamanya rendah tidak dapat diharapkan untuk mengasuh dan memelihara anak yang masih kecil.

Adapun syarat untuk anak yang akan diasuh (mahdhun) itu adalah:
  1. Ia masih berada dalam usia kanak-kanak dan belum dapat berdiri sendiri dalam mengurus hidupnya sendiri.
  2. Ia berada dalam keadaan tidak sempurna akalnya dan oleh karena itu tidak dapat berbuat sendiri, meskipun telah dewasa, seperti orang idiot. Orang yang telah dewasa dan sehat sempurna akalnya tidak boleh berada di bawah pengasuhan siapapun.

C.     Yang Lebih Layak Melakukan Hadhanah
Pada dasarnya yang berkewajiban melakukan hadhanah adalah kedua orang tua si anak. Prinsip tersebut hanya akan berjalan lancar jika kedua orang tua tetap dalam hubungan suami-istri. Yang menjadi persoalan adalah apabila kedua orang tua si anak telah bercerai.Dalam kaitannya dengan masalah ini ada dua.



1.      Hadhanah Menurut Pandangan Fuqaha’
1.      Ibu Lebih Berhak Terhadap Anak Daripada Ayahnya.
Para fuqaha’ sepakat bahwa hak pemeliharaan anak (hadhanah) ada pada ibu selama ia belum bersuami lagi. Apabila ia telah bersuami lagi dan sudah disetubuhi oleh suami yang baru maka gugurlah pemeliharaannya.
Sedangkan para Imam Mazhab berbeda pendapat tentang suami istri yang bercerai, adapun mereka mempunyai seorang anak atau lebih. Siapakah yang berhak memelihara anaknya?
  1. Menurut pendapat Imam Hanafi dalam salah satu riwayatnya: Ibu lebih berhak atas anaknya hingga anak itu besar dan dapat berdiri sendiri dalam memenuhi keperluan sehari-hari seperti makan, minum, pakaian, beristinjak, dan berwudhu. Setelah itu, bapaknya lebih berhak memeliharanya. Untuk anak perempuan, ibu lebih berhak memeliharanya hingga ia dewasa, dan tidak diberi pilihan.
  2. Imam Miliki berkata: ibu lebih berhak memelihara anak perempuan hingga ia menikah dengan orang laki-laki dan disetubuhinya. Untuk anak laki-laki juga seperti itu, menurut pendapat Maliki yang masyhur, adalah hingga anak itu dewasa.
  3. Imam Syafi’i berkata: Ibu lebih berhak memeliharanya, baik anak itu laki-laki maupun perempuan, hingga ia berusia tujuh tahun. Apabila anak tersebut telah mencapai usia tujuh tahun maka anak tersebut diberi hak pilih untuk ikut diantara ayah atau ibunya.
  4. Imam Hambali dalam hal ini mempunyai dua riwayat: Pertama, ibu lebih berhak atas anak laki-laki sampai ia berumur tujuh tahun. Setelah itu, ia boleh memilih ikut bapaknya atau masih tetap bersama ibunya. Sedangkan untuk anak perempuan, setelah ia berumur tujuh tahun, ia terus tetap bersama ibunya, tidak boleh diberi pilihan. Kedua, seperti pendapatnya Imam Hanafi, yaitu ibu lebih berhak atas anaknya hingga anak itu besar dan berdiri sendiri dalam memenuhi keperluan sehari-hari sepeti makan, minum, pakaian, beristinjak, dan berwuduk. Setelah itu, bapak lebih berhak memeliharanya. Untuk anak perempuan, ibu yang lebih berhak memeliharanya hingga ia dewasa dan tidak diberi pilihan.

2.      Berhentinya Hadhanah       
Hadhanah berhenti (habis) bila anak kecil tersebut sudah tidak lagi memerlukan pelayanan perempuan, telah dewasa, dan dapat berdiri sendiri, serta telah mampu untuk mengurus sendiri kebutuhan pokoknya, seperti makan sendiri, berpakaian sendiri, mandi sendiri. Dalam hal ini, tidak ada batasan tertentu tentang waktu habisnya.

  1. Fatwa pada mazhab Hanafi dan lain-lainnya, “Masa hadhanah berakhir (habis) bilamana telah berumur tujuh tahun bagi laki-laki dan sebilan tahun kalau ia perempuan”. Mereka menetapkan masa hadhanah perempuan lebih lama agar dia dapat menirukan kebiasaan-kebiasaan kewanitaannya dari hadhanah (ibu pengsuhnya).
  2. Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa masa hadhanah itu berakhir setelah anak itu mumayyiz, yakni berumur lima dan enam tahun, dengan dasar hadits:“Rasulullah SAW bersabda: anak ditetapkan antara bapak dan ibunya sebagaimana anak (anak yang belum mumayyiz) perempuan di tetapkan antara bapak dan ibunya”
  3. Begitu juga beberapa Imam Mazhad berpendapat tentang hal ini, yaitu: Imam Syafi’i dan ishak mengatakan bahwa lama masa mengasuh adalah sampai 7 tahun atau 8 tahun. Ulama-ulama Hanafiah dan Ats-Tsauri mengatakan bahwa ibu lebih berhak mengasuh anak laki-laki sampai ia pandai makan sendiri, dan berpakaian sendiri. Sedangkan anak perempuan sampai ia haid. Sesudah itu baru bapaknya yang berhak dengan keduanya.

3.      Upahnya Hadhanah
Upah hadhanah seperti upah menyusuhi, ibu tidak berhak atas upah hadhanah selama ia masih menjadi istri dari ayah anak kecil itu, atau selama masih dalam masa iddah. Karena dalam keadaan tersebut, ia masih mempunyai hak nafkah sebagai istri atau nafkah masa iddah. Allah SWT. Berfirman: (Al-Baqarah:233) .

“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi makan dan Pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan Karena anaknya dan seorang ayah Karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan Ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan”.
Maka ia berhak mendapatkan upah itu seperti haknya kepada upah menyusui, apabila setelah habisnya masa iddah. Allah SWT. Berfirman: (At-Talak:06)
“Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.” (At-Talak:06)

2.       Hadhanah Dalam Perspektif KHI
a.    Yang Lebih Layak Melakukan Hadhanah
Dalam Inpres Nomor 1 tahun 1991 tentang penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam, mengenai hadhanah menjadi hukum positif di Indonesia dan Peradilan Agama diberi wewenang untuk menyelesaikannya. Hadhanah merupakan sebagai salah satu akibat putusnya perkawinan diatur secara panjang lebar oleh KHI dan materinya hampir keseluruhannya mengambil dari fiqh menurut para jumhur ulama, khususnya Syafi’iyah. Kompilasi Hukum Islam kaitannya dengan masalah ini membagi ada dua periode bagi anak yang perlu dikemukakan yaitu:

 a.      Periode sebelum mumayyiz
Periode ini adalah dari waktu lahir sampai menjelang umur tujuh atau delapan tahun.Kesimpulan ulama menunjukkan bahwa pihak ibu lebih berhak terhadap anak untuk selanjutnya melakukan hadhanah. Kesimpulan mereka di dasarkan atas:
  1. Sabda rasulullah yang berbunyi ”Barang siapa memisahkan antara seorang ibu dan anaknya, niscaya Allah akan memisahkannya dengan yang dikasihaninya di hari kemudian”. (HR. Abu Daud).
  2. Hadis Abdullah bin Umar bin Al-Ash menceritakan, seorang wanita kepada Rasulullah tentang anak kecilnya, di mana suaminya bermaksud membawa anak mereka bersamanya. Lalu Rasulullah bersabda “Kamu (wanita itu) lebih berhak terhadap anak itu selama kamu belum menikah dengan lelaki lain” (HR. Abu Daud dan Ahmad).
  3. Pada kasus sengketa antara Umar bin Khattab dengan istrinya dalam hal pengasuhan anak, Khalifah Abu Bakar pun menjatuhkan putusannya sesuai dengan hadist nabi di atas.
  4. Ibu lebih mengerti dengan kebutuhan anak dalam masa tersebut dan lebih bisa memperlihatkan kasih sayangnya. Demikian pula anak dalam masa itu lebih membutuhkan ibunya.

Berdasarkan alasan-alasan di atas, apabila terjadi perceraian, demi kepentingan anak dalam umur tersebut, maka ibu lebih berhak untuk mengasuhnya, bilamana persyaratan-persyaratannya dapat dilengkapi.

b.      Periode Mumayyiz
Masa mumayyiz adalah dari umur tujuh tahun sampai menjelang baligh berakal.Pada masa ini seorang anak secara sederhana telah mampu membedakan antara yang berbahaya dan yang bermanfaat baginya. Oleh sebab itu, ia sudah dianggap dapat menjatuhkan pilihannya sendiri apakah ia ikut ibu atau ikut ayahnya. Dengan demikian ia diberi hak pilih menentukan sikapnya. Dasar hukumnya adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah yang menceritakan seorang wanita yang mengadukan tingkah bekas suaminya yang hendak mengambil anak mereka berdua, yang telah mampu menolongmengambil air dari sumur. Lalu Rasulullah menghadirkan kedua pihak yang bersengketa dan mengadili “Hai anak, ini ibumu dan ini ayahmu. Pilihlah yang mana yang engkau sukai untuk tinggal bersamanya.Lalu anak itu memilih ibunya”.Sedangkan hal ini batas umurnya berbada dengan pandapat para ulama.Yaitu dibawah umur 12 tahun bagi yang belum mumayyiz.

3.      Syarat-Syarat Bagi Yang Melakukan Hadhanah
Untuk kepentingan anak dan pemeliharaannya diperlakukan beberapa syarat bagi yang melakukan hadhanah:
  1. Yang melakukan hadhanah hendaklah sudah baligh berakal, tidak terganggu ingatannya, sebab hadhanah itu merupakan pekerjaan yang penuh tanggung jawab. Oleh sebab itu, seorang ibu yang mendapat gangguan jiwa atau gangguan ingatan tidak layak melakukan tugas hadhanah, ahmad bin Hanbal menambahkan agar yang melakukan hadhanah tidak mengidap penyakit menular.
  2. Mempunyai kemampuan dan kemauan untuk memelihara dan mendidik  mahdun(anak yang diasuh) dan tidak terikat dengan suatu pekerjaan yang bisa mengakibatkan tugas hadhanah menjadi terlantar.
  3. Seorang yang melakukan hadhanah hendaklah dapat dipercaya memegang amanah, sehingga dengan itu dapat lebih menjamin pemeliharaan anak. Orang yang rusak akhlaknya tidak dapat memberikan contoh baik kepada anak yang diasuh.
  4. Jika yang akan melakukan hadhanah adalah ibu kandung dari anak yang akan diasuh, disyaratkan tidak kawin dengan lelaki lain .dasarnya adalah penjelasan Rasulullah bahwa seorang ibu hanya mempunyai hak hadhanah bagi anaknya selama ia belum menikah dengan lelaki lain (HR. Abu Daud). Adanya persyaratan tersebut disebabkan kekhawatiran suami kedua tidak merelakan istrinya disibukkan mengurus anaknya dari suami pertama.
  5. Seseorang yang melakukan hadhanah harus beragama  Islam. Seorang nonmuslim tidak berhak dan tidak boleh ditunjuk sebagai pengasuh. Tugas mengasuh termasuk ke dalamnya usaha mendidik anak menjadi muslim yang baik, dan hal itu menjadi kewajiban muthlak atas kedua orang tua.











BAB III
PENUTUP

Kasimpulan

Bahwa salah satu syarat bagi yang melakukan hadhanah adalah beragama Islam, jadi dalam contoh perkara tersebut di atas, artinya, bilamana seorang ibu tidak beragama Islam, maka gugurlah hak hadhanah terhadap anaknya yang beragama Islam. Karena dalam kasus tersebut anak yang diperkarakan adalah beragama Islam, karena dilahirkan dari pasangan yang beragama Islam dan nikah secara Islam. Melihat kenyataan demikian, maka masalahnya menjadi jelas, bahwa hak hadhanah berpindah kepada pihak yang beragama Islam, yaitu Penggugat (ayahnya).
Hadhanah sangat terkait dengan tiga hak:
1.      Hak wanita yang mengasuh.
2.      Hak anak yang diasuh.
3.      hak ayah atau orang yang menempati posisinya.

Jika masing-masing hak ini dapat disatukan, maka itulah jalan yang terbaik dan harus ditempuh. Jika masing-masing hak saling bertentangan, maka hak anak harus didahulukan daripada yang lainnya. Terkait dengan hal ini ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.
pertama, pihak ibu terpaksa harus mengasuh anak jika kondisinya memang memaksa demikian karena tidak ada orang lain selain dirinya yang dipandang pantas untuk menasuh anak.
kedua, si ibu tidak boleh dipaksa mengasuh anak jika kondisinya memang tidak mengharuskan demikian. sebab mengasuh anak itu adalah haknya dan tidak ada mudharat yang dimungkinkan akan menimpa sianak karena adanya mahram lain selain ibunya.
ketiga, seorang ayah tidak berhak merampas anak dari orang yang lebih berhak mengasuhnya (baca: ibu) lalu memberikannya kepada wanita lain kecuali ada alsan syar’i yang memperbolehkannya.
keempat, jika ada wanita yang bersedia menyusui selain ibu si anak, maka ia harus menyusui bersama (tinggal serumah) dengan si ibu hingga tidak kehilangan haknya mengasuh anak.

Jika wanita lebih berhak mendidik dan mengasuh anak daripada laki-laki, maka -sesuai ijma ulama- ibu kandung sianak tentu lebih berhak mengasuh anaknya setelah terjadi perpisahan (antara suami dan istrinya), baik karena talak, meninggalnya suami atau suami menikah dengan wanita lain, karena ibu jauh memiliki kelembutan dan kasih sayang, kecuali jika ada penghalang yang menghapuskan hak si ibu untuk mengasuh anak.



DAFTAR PUSTAKA


Ghazali Abd Rahman, Fiqh Munakahat. Jakarta: kencana. 2003

nindyaprisca(2011). Hak Asuh Anak Akibat Perceraian [online]

ABIYAZID (2008). HADHANAH (Hak Asuh Anak. [online]. Tersedia :

 http://abiyazid.wordpress.com/2008/02/27/hadhanah-hak-asuh-anak/ [14 oktober 2013 19.17]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar