BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATARBELAKANG
Bagansiapiapi kota nelayan yang
dibangun di atas air dan rawa yang pernah dikenal sebagai penghasil ikan
terbesar di Indonesia. Kabupaten ini terletak di di pesisir paling utara Rokan
Hilir tepatnya di muara Sungai Rokan. Pencapaian Bagansiapiapi dapat ditempuh
melalui jalur laut maupun darat. Berpenduduk mayoritas orang Cina,
Bagansiapiapi dahulu merupakan pelabuhan nelayan yang cukup besar.
Keberadaannya sebagai penghasil ikan setidaknya dikenal telah dimulai sejak
akhir abad ke-19, saat telah cukup banyak pendatang dari Tiongkok bekerja di
daerah ini. Perairan potensial di sana memungkinkan dijadikannya perikanan
sebagai sektor yang diunggulkan.
Bagansiapiapi Bukan saja sebagai penghasil Ikan tapi
sebagai pemasok perahu penangkap ikan yang cukup besar, nama Bagansiapiapipun
telah dikenal sejak dahulu. Sebagian warga masih dapat menyebutkan bahwa perahu
penangkap ikan buatan Bagansiapiapi mampu menembus pasar Asia Tenggara,
sehingga tidak mengherankan bila dahulu banyak dijumpai di perairan Malaysia,
Singapura,Thailand, bahkan perairan Vietnam. Namun berbeda dengan waktu-waktu
sebelumnya, saat ini kondisi industri perahu penangkap ikan Bagansiapiapi
mengalami kemacetan. Sarana penangkapan ikan di laut menjadi amat berkurang.
Kita dapat mengatakan bahwa sebuah ciri kemaritiman daerah ini tidak lagi
menonjol.
Ada sesuatu yang masih menandai Bagansiapiapi sebagai
salah satu pusat perikanan yang besar adalah ritual yang diselenggarakan
masyarakat Tionghoa di sana. Ritual dimaksud adalah Bakar Tongkang atau Go
Caplak, yang diselenggarakan setiap penanggalan Imlek bulan kelima (Go) tanggal
ke-16 (Caplak) setiap tahunnya. Ini berkenaan dengan ungkapan syukur masyarakat
atas hasil yang diperoleh dalam pengelolaan perairan. Ritual tersebut diikuti
ribuan orang, penduduk lokal maupun pendatang dalam dan luar negeri, sehingga
tidak mengherankan bila pihak Pemerintah Daerah Kabupaten Rokan Hilir saat ini
gencar mempromosikan potensi wisata tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
SEJARAH
Menelusuri sejarah kota Bagansiapiapi erat
kaitannya dan tidak terlepas dari sejarah Rokan Hilir.
Di daerah Rokan Hilir terdapat tiga wilayah kenegerian yaitu
negeri Kubu, Bangko dan Tanah Putih yang masing-masing dipimpin seorang Kepala
Negeri yang bertanggung jawab kepada Sultan Siak. Berkenaan dengan
sistem administrasi pemerintah Hindia
Belanda, distrik pertama yang didirikan di sana adalah Tanah Putih pada
tahun 1890.
Berdasarkan Staatsblad
1894 No.94, onderafdeeling Bagansiapiapi dengan ibukota
Bagansiapiapi, termasuk dalam afdeeling Bengkalis, Residentie Ooskust van Sumatra terdiri dari tiga subdistrik yakni
Bangko, Kubu, dan Tanah Putih. Setelah Bagansiapiapi yang dipercaya dibuka oleh
pemukim-pemukim Tionghoa berkembang pesat, pemerintah Hindia
Belanda memindahkan pusat
pemerintahan (kantor Controleur)
ke kota ini dari Tanah Putih pada tahun 1900. Bagansiapiapi semakin berkembang
setelah pemerintah Hindia
Belanda membangun pelabuhan
modern dan terlengkap untuk mengimbangi pelabuhan lainnya di Selat
Malaka hingga Perang
Dunia I usai.
Setelah kemerdekaan Republik Indonesia diproklamirkan,
wilayah kewedanaan Bagansiapiapi yang meliputi Kubu, Bangko dan Tanah Putih, digabungkan ke dalam Kabupaten Bengkalis, Provinsi
Riau. Selanjutnya bekas wilayah Kewedanaan Bagansiapiapi, yang terdiri dari Kecamatan Tanah Putih, Kecamatan
Kubu dan Kecamatan Bangko ditambah Kecamatan Rimba Melintang dan Kecamatan Bagan Sinembah kemudian pada tanggal 4 Oktober 1999
ditetapkan sebagai sebuah kabupaten baru di Provinsi
Riau sesuai dengan UU RI
Nomor 53 tahun 1999 dengan ibukota Ujung Tanjung, sedangkan
Bagansiapiapi ditetapkan sebagai ibu kota sementara.
Namun karena kondisi infrastruktur di Ujung Tanjung yang masih merupakan sebuah desa di Kecamatan Tanah Putih belum memungkinkan untuk dijadikan
sebagai sebuah ibu kota kabupaten, maka akhirnya Bagansiapiapi, dengan
infrastruktur kota yang jauh lebih baik, pada tanggal 24 Juni 2008 resmi
ditetapkan sebagai ibu kota Kabupaten Rokan Hilir yang sah setelah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyetujui 12 Rancangan
Undang-Undang (RUU) Pembentukan Kabupaten/Kota dan RUU atas perubahan ketiga
atas UU Nomor 53 Tahun 1999 disahkan sebagaiUndang-Undang dalam Rapat Paripurna.
1.1 Asal Usul Nama Bagan siapi-api
Menurut cerita masyarakat Bagansiapiapi secara turun temurun,
nama Bagansiapiapi erat kaitannya dengan cerita awal kedatangan orang Tionghoa
ke kota itu. Disebutkan bahwa orang Tionghoa yang pertama sekali datang ke
Bagansiapiapi berasal dari daerah Songkhla di Thailand.
Mereka sebenarnya adalah perantau-perantau Tionghoa yang berasal dari Distrik
Tong'an (Tang Ua) diXiamen, wilayah Provinsi
Fujian, Tiongkok Selatan. Konflik
yang terjadi antara orang-orang Tionghoa dengan penduduk Songkhla, Thailand kelak menjadi penyebab terdamparnya
mereka di Bagansiapiapi.
Dalam cerita dimaksud disebutkan bahwa
pelarian tersebut dilakukan dengan menggunakan tiga perahu kayu (tongkang).
Kejadian-kejadian selama dalam perjalanan menyebabkan hanya satu tongkang yang
selamat sampai di darat. Itu adalah tongkang yang dipimpin oleh Ang Mie Kui bersama 17 orang penumpang lainnya.
Tongkang yang selamat ini kebetulan membawa serta patungDewa Tai Sun Ong Ya yang diletakkan di
bagian haluan dan patung Dewa Kie Ong Ya yang ditempatkan dalam magun/rumah
tongkang.
Menurut keyakinan mereka, patung-patung ini akan memberi
keselamatan selama pelayaran itu. Petunjuk akhirnya diberikan oleh sang Dewa,
setelah mereka melihat cahaya api yang berkerlap-kerlip sebagai tanda adanya
daratan. Cahaya api itu ternyata berasal dari kunang-kunang (si api-api) yang bertebaran di antara hutan bakau yang tumbuh subur di tepi pantai. Di
daerah tidak bertuan inilah mereka mendarat dan membangun tempat pemukiman baru
yang kemudian dikenal dengan nama Bagansiapiapi. Adapun kata bagan sendiri mengandung makna sebagai
tempat, daerah, atau alat penangkap ikan.
Versi lain mengenai asal usul nama Bagansiapiapi adalah kata Bagan yang berasal dari nama alat atau
tempat menangkap ikan (yakni bagan, bagang, atau jermal), sementara api berasal dari nama pohon api-api yang banyak tumbuh di daerah pantai.
1.2 Kota
Nelayan Dan Galangan Kapal
Dulu kota ini terkenal sebagai penghasil
ikan terpenting, sehingga dijuluki sebagai kota ikan. Menurut beberapa sumber,
di antaranya surat kabar De
Indische Mercuur menulis
bahwa pada tahun 1928, Bagansiapiapi adalah kota penghasil ikan terbesar kedua
di dunia setelah kota Bergen di Norwegia.
Dalam perkembangannya, industri perikanan telah menjadikan
Bagansiapiapi sebuah kota modern. Pada tahun 1934, Bagansiapiapi sudah memiliki
fasilitas pengolahan air minum, pembangkit tenaga listrik dan unit pemadam
kebakaran. Karena kemajuan yang dicapai kota ini dibandingkan daerah-daerah
lain di afdeeling Bengkalis, Bagansiapiapi disebut Ville Lumiere (Kota Cahaya).
Berton-ton ikan, mulai dari ikan basah segar, ikan atau udang
kering, ikan asin atau terasi, diekspor dari kota ini ke berbagai tempat. Dalam
satu tahun, hasil tangkapan ikannya bisa mencapai 150.000 ton. Ekspor hasil
laut berkembang menjadi salah satu pilar ekonomi rakyat. Bagansiapiapi
menduduki papan atas daerah-daerah penghasil ikan terbesar di dunia.
Pada tahun 1980-an, buku-buku pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) di sekolah-sekolah dasar masih
mencantumkan bahwa salah satu daerah penghasil ikan terbesar dan teramai di
Indonesia adalah Bagansiapiapi, yang pada saat itu masih masuk ke dalam wilayah Kabupaten Bengkalis.
Akan tetapi julukan Bagansiapiapi sebagai kota ikan lama
kelamaan memudar. Bila sebelumnya faktor alam yang menjadikannya demikian
dikenal sebagai penghasil ikan, kelak diketahui bahwa faktor alam pula yang
menyebabkan pemudarannya secara berangsur-angsur karena pesisir sekitar
Bagansiapiapi mengalami pendangkalan dan sempit oleh endapan lumpur yang dibawa
air Sungai Rokan.
Menurut data dari Dinas Perikanan Kabupaten Rokan Hilir, pada
tahun 2000-2003, produktivitas ikan tangkap laut berkisar pada angka 70.000 ton
per tahun. Namun, pada tahun 2004 tinggal 32.989 ton. Jumlah nelayan turun dari
sekitar 100 menjadi 40-an saja.
Bagansiapiapi juga terkenal sebagai galangan kapal
tradisional terbesar di Indonesia sebelum kemerdekaan. Perahu buatan
Bagansiapiapi mampu menembus berbagai jenis karakteristik lautan sehingga
digunakan juga di Pulau Jawa, Nusa
Tenggara, dan Maluku. Di luar
negeri, karyanya diminati nelayan-nelayan Srilanka, India, bahkan Amerika.
Perahu produk Bagansiapiapi memenuhi permintaan dari yang terkecil
sekitar tiga-empat ton sampai 300 ton. Galangan kapal menjamur di era tahun
1940-an hingga pertengahan tahun 1980-an. Di masa jayanya, nama kota
Bagansiapiapi lebih terkenal daripada Pekanbaru maupun Provinsi
Riau.
Tapi kini usaha tersebut sudah mati suri karena keterbatasan
bahan baku kayu dan sederetan Undang-Undang Tentang Kehutanan. Dalam UU itu
disebutkan bahwa pemerintah pusat memiliki kuasa penuh dalam menentukan
pembagian kawasan hutan. Dampaknya, para pencari kayu yang selama ini
didominasi penduduk lokal, tidak lagi bisa menebang kayu untuk menjualnya ke
pengusaha galangan kapal.
1.3 Komunitas Tionghoa
Bagansiapiapi memiliki komunitas Tionghoa yang
besar. Terdapat beberapa versi sejarah kedatangan pertama orang Tionghoa di
Bagansiapiapi.
Menurut P.N. van Kampen, orang
Tionghoa sudah ada di Bagansiapiapi sejak tahun 1860. Versi lain mengenai
kedatangan awal orang Tionghoa ke Bagansiapiapi adalah pada tahun 1875 saat sejumlah bajak laut tiba di
Bagansiapiapi dari Songkhla, Thailand yang dipimpin Si Bajak Laut Tua Kakek
Wang. Karena kekayaan ikan yang berlimpah di daerah ini, mereka memutuskan
untuk menetap dan menjadi nelayan.
Menurut sumber lain yang layak dipercaya menyebutkan bahwa
jauh pada masa Kaisar
Tongzhi (1862-1874), yaitu
pada zaman Dinasti
Qing, Hong Shifan dan 10 kawannya dari Distrik
Tong'an , Provinsi
Fujian, Tiongkok Selatan, datang
ke kota itu dan mengembangkan usaha perikanan di sana. Menurut hasil cacah jiwa
pada 1930, dari 9.811 orang Tionghoa yang bekerja di sektor perikanan di
seluruh Hindia
Belanda, 54,7 % berada di Sumatera
Timur (terutama di
Bagansiapiapi). Menurut statistik lainnya tahun 1928, sebagian terbesar dari
400 lebih usaha penangkaran ikan di pelabuhan itu milik orang Tionghoa.
Komunitas Tionghoa di Bagansiapiapi sebagian besar merupakan
suku Hokkian, di mana
leluhurnya sebagian besar berasal dari Distrik
Tong'an (Tang Ua) di Xiamen, Provinsi
Fujian, Tiongkok Selatan.
Komunitas Tionghoa lainnya di Bagansiapiapi dengan jumlah cukup signifikan
adalah berasal dari suku Tiociu, sedangkan
dari suku Khek (Hakka), Hailam (Hainan) dan Konghu dapat dijumpai dalam jumlah yang
relatif lebih sedikit.
Eksistensi komunitas Tionghoa yang kuat di Bagansiapiapi
dapat dilihat dari banyaknya kelenteng yang berdiri. Di samping itu, terdapat
berbagai perkumpulan marga Tionghoa, lengkap dengan kelentengnya masing-masing,
di mana dari perkumpulan-perkumpulan marga inilah kebudayaan Tionghoa tetap
terpelihara di Bagansiapiapi meskipun dibatasi pada masa rezim Orde Baru.
Perkumpulan-perkumpulan marga tersebut di antaranya adalah
Perkumpulan Marga Ang Liok Kui
Tong/Yayasan Sosial Marga Sad Eka, Perkumpulan Marga Ng Kang Ha Tong/Yayasan Samvara
Dharma Wijaya, Perkumpulan Marga Tan Ying
Chuan Tong , Perkumpulan
Marga Lim Kiu Ling Tong , Perkumpulan Marga Coa Cei Yong Tong, Perkumpulan
Marga Gui, Perkumpulan Marga Kho/Yayasan Panca Bina Dharma Citra, Perkumpulan
Marga Li, Perkumpulan Marga Yeo, Perkumpulan Suku Tiociu Han Kang/Yayasan Mulia Dharma
Abadi, dan sebagainya.
2. BUDAYA
2.1 Perayaan Tahun Baru Imlek
Perayaan Tahun
Baru Imlek (Sincia) di
Bagansiapiapi sangat meriah, terutama pada malam pergantian tahun baru. Tahun
Baru Imlek juga merupakan
tradisi pulang kampung bagi orang Tionghoa yang merantau ke luar daerah untuk
berkumpul kembali bersama keluarga. Perayaan Imlek di Bagansiapiapi berlangsung
15 hari sampai malam Cap Go Meh.
Selama perayaan Tahun Baru Imlek, lampion beraneka bentuk dan ukuran menghiasi
rumah-rumah penduduk, perkantoran, kelenteng dan vihara, bahkan di sepanjang
jalan-jalan besar di pusat kota sehingga kota Bagansiapiapi seakan bermandikan
cahaya lampion di malam hari. Hari ke-9 Imlek (Cue Kao) yang merupakan
perayaan hari kelahiran Dewa Langit (Thi Kong) juga berlangsung sangat
meriah di Bagansiapiapi.
Salah satu keunikan perayaan Tahun Baru Imlek di
Bagansiapiapi adalah hadirnya aksesoris patung berbentuk hewan dari shio tahun tersebut yang dipajang di Jalan
Perdagangan. Patung tersebut terutama terbuat dari material seperti kertas,
bambu, kawat, kain, wol dan sebagainya. Kegiatan seperti ini baru dimulai pada
perayaan Tahun Baru Imlek 2554/2003 M Shio Kambing.
Di samping itu, di Kelenteng Guan Gong yang terletak di Jalan Perniagaan,
terdapat lampion berukuran raksasa berbentuk hewan shio dan karya klasik Tiongkok lainnya.
Pada malam Cap Go Meh akan berlangsung Pawai Lampion dengan
lampion-lampion yang unik dari berbagai kelenteng yang ada di Bagansiapiapi.
Pawai Lampion ini sekaligus merupakan Lomba Lampion yang akan memilih lampion
terindah, terunik dan terbagus.
2.2 Ritual Bakar Tongkang
Dari sektor
pariwisata, iven Ritual Bakar Tongkang telah menjadi ikon dan andalan pariwisata Kabupaten Rokan
Hilir dan Provinsi Riau yang mampu menyedot puluhan ribuan wisatawan dalam dan
luar negeri setiap tahun.
Ritual Bakar Tongkang bertujuan
untuk mengenang para leluhur orang Tionghoa dalam menemukan Bagansiapiapi dan
sebagai wujud syukur kepada Dewa Kie Ong Ya. Ritual Bakar Tongkang diadakan
setiap tanggal 16 bulan kelima penanggalan Lunar (Imlek) setiap tahunnya, yang
dalam bahasa Hokkian disebut "Go Cap Lak".
3. PENINGGALAN
SEJARAH DI BAGANSIAPIAPI
3.1 Rumah Kapiten
Rumah
Kapiten Tua adalah bekas peninggalan Belanda. Namanya Kapiten Lo Chin Po. Ia
terbunuh pada saat peristiwa bendera di Bsgansiapiapi tahun 1946. Kapiten
adalah “kepala suku” masyarakat Tionghoa di Bagansiapiapi. Saat ini rumah
tersebut ditempati oleh pewaris kapiten.
3.2 Tugu Proklamasi
Tugu Proklamasi ini
didirikan untuk mengenang tibanya informasi tentang kemerdekaan Republik
Indonesia (RI) di Bagansiapiapi pada tanggal 23 Agustus 1945. Kabar tentang
proklamasi tersebut terlambat sampai ke Bagansiapiapi. Berita tersebut didapat
dari Kantor Pos Bagansiapiapi. Proklamasi RI diumumkan 17 Agustus 1945.
3.3 Tugu Perjanjian
Di
balik keberadaan tugu di persimpangan Jalan Kelenteng ini, tersimpan kisah yang
sangat unik. Konon sekitar tahun 1929 silam, penduduk kota Bagansiapiapi
dilanda suatu musibah, sehingga disarankan seorang pemuka agama perlu dibangun
tugu guna menangkal musibahtersebut supaya tidak terjadi lagi, maka dibangunlah
empat buah tugu yang ditempatkan di empat penjuru kota Bagansiapiapi, yang
dapat dilihat hingga saat ini. Ada juga yang menyebutkan tugu ini sebagai tugu
perjanjian antara manusia dan setan.
3.4 Museum Tionghoa
Museum ini
menyimpan benda benda antik dan juga benda unik buatan tangan dari kaum
ethnis tionghoa di Bagansiapiapi. Museum Tionghoa ini berlokasi di Batu 6
Bagansiapiapi.
Museum
Muslim ini menyimpan benda-benda keagamaan Islam dan juga benda benda benda
antik dan juga benda unik buatan tangan dari umat islam di Bagansiapiapi.
Museum Muslim ini berlokasi di Batu 6 Bagansiapiapi
3.6 Museum Ikan bagansiapiapi
Bagansiapiapi adalah sebuah kota nelayan yang pada tahun 1980-an
pernah tercatat sebagai salah satu daerah penghasil ikan terbesar dan teramai
di Indonesia. Selain itu, daerah ini juga pada suatu masa dulu adalah pelabuhan
dengan produksi ikan kedua
terbanyak di dunia setelah Nowergia.
Karena terkenal akan kota Ikan dan Kota nelayan maka dibangun Museum Ikan Bagansiapiapi. Museum ikan ini berlokasi di Batu 6
Bagansiapiapi.
BAB III
PENUTUP
Kasimpulan
Suku bangsa Tionghoa
(biasa disebut juga Cina) adalah salah satu etnis
di Indonesia.
Biasanya mereka menyebut dirinya dengan istilah Tenglang (Hokkien),
Tengnang (Tiochiu), atau Thongnyin (Hakka).
Dalam bahasa Mandarin
mereka disebut Tangren (Hanzi: "orang
Tang"). Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa orang Tionghoa-Indonesia
mayoritas berasal dari Cina selatan yang menyebut diri mereka sebagai orang
Tang, sementara orang Cina utara menyebut diri mereka sebagai orang Han
(Hanzi: hanyu
pinyin: hanren, "orang Han").
Kedatangan etnis Tionghoa ke
Bagansiapiapi memberikan dampak positif terhadap perekonomian warga khusus di
Bagansiapiapi dan dikenal sebagai daerah dengan sebutan Kota Ikan.
Antara suku Melayu dan suku
Tionghoa saling memerlukan atau ada Simbiosis Mutualisme. Artinya ada hubungan
pamrih antara masyarakat Melayu dan masyarakat Tionghoa dan masih terjalin
hingga saat ini
Seiring berjalannya waktu maka
jumlah warga Tionghoa terus bertambah hingga sekarang tak kurang ribuan orang
yang tinggal di berbagai tempat di wilayah Kabupaten Rokan Hilir termasuk di
Bagansiapiapi terus bertambah. Sebagian mereka datang datang dari Malaka. Salah
satu bukti sejarah keberadaan awal etnis Tionghoa di Bagansiapiapi adalah
keberadaan Klenteng tertua Ing Hok Kiong yang dibangun sejak tahun 1875.
BAKAR Tongkang diperkirakan sudah
dilaksanakan sejak 1820 lalu. Bagi masyarakat Bagansiapiapi, saat ini berada di
Kabupaten Rokan Hilir Provinsi Riau, khususnya bagi masyarakat Tionghoa, Bakar
Tongkang mempunyai nilai sejarah yang tak lekang dimakan waktu secara turun
temurun. Terlepas asal usul pelaksanaan Bakar Tongkang, kisah pelarian 18
marga Ang dari Propinsi Fujian – China menjadi ikon Bagansiapiapi. Kata Bakar
Tongkang identik dengan Bagansiapiapi. Hanya di Bagansiapiapi ritual Bakar
Tongkang dapat disaksikan masyarakat etnis Tionghoa di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Casino Del Sol Casino - Drmcd
BalasHapusThe casino is located off the 천안 출장마사지 Fremont Street corner. A 정읍 출장샵 great place to explore the casino's newest gaming area. It has the 동두천 출장샵 newest 대전광역 출장마사지 slot machines, 속초 출장안마